Sejarah Pen-DPO-an, Berawal Dari Malam Takbiran

Mestinya malam takbiran 2006 lalu dipenuhi rasa suka cita menyambut hari kemenangan, namun yang terjadi sebaliknya. Malam takbiran di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo , Poso menjadi sebuah petaka. Desingan peluru berseliweran bersama bunyi tiang listrik, sebuah isyarat warga bahwa situasi dalam keadaan bahaya. Malam itu polisi Poso terlibat baku tembak dengan warga.

Ada dua versi yang berbeda sekaitan dengan bentrokan berdarah yang merenggut satu korban jiwa dari pihak sipil itu. Investigasi KUAK (Kaukus Ummat Anti Kekerasan) yang dimotori Tim Pembela Muslim Poso menyebutkan anggota Brimob melakukan razia besar-besaran pada malam hari sekitar pukul 21.30 Wita. Daerah yang menjadi sasaran adalah di Jalan Pulau Jawa, Jalan Pulau Madura, Jalan Pulau Alor, Jalan Pulau Bali, Jalan Pulau Kalimantan dan Pulau Irian. Sepasukan polisi dan beberapa mobil truk Brimob dan panser (Barakuda) mulai mendekati Ponpes Putri Amanah di Jalan Pulau Irian.

Polisi kemudian melakukan pengepungan lokasi Ponpes Putri Amanah dari berbagai arah, sejumlah warga di sekitar pondok masih santai di masjid al-Firdaus setelah selesai shalat tarawih sambil menunggu informasi penetapan 1 syawal 1427 H. Warga gelisah setelah melihat sejumlah polisi dengan senjata lengkap memasuki jalan setapak menuju Tanah Runtuh. Melihat gelagat itu salah seorang warga melaporkannya ke mesjid al-Firdaus. Laporan tersebut ditindak lanjuti jemaah dengan melakukan pengecekan. Warga yang mengecek informasi masuknya pasukan Brimob ke Tanah Runtuh, tepatnya di lokasi Madrasah Ibtidiaiyah Negeri Poso, tiba-tiba dihujani tembakan senjata otomatis laras panjang. Warga kemudian memukul tiang listrik sebagai tanda bahaya yang diikuti oleh warga Gebang Rejo, Kayamanya, Bonesompe, Lawanga dan Sayo.

Warga Gebang Rejo mulai berdatangan ke lokasi suara tembakan, mereka berkumpul di depan Pos Polisi Masyarakat (Polmas) Tanah Runtuh dan di sepanjang Jalan Pulau Irian. Warga meminta perlindungan dari polisi yang ada di Pos Polmas itu. Namun ternyata, polisi itu tidak bisa memberikan perlindungan. Justru anggota Polisi yang ada di Pos Polmas melepas tembakan yang membuat warga marah dan mengepung Pos Polmas tersebut. Pada saat pengepungan tersebut massa membakar sebuah truk dan tiga unit motor milik Brimob.

Puluhan personil pasukan Brimob ke Pos Polmas sambil melepaskan tembakan ke arah warga secara membabi-buta. Rentetan tembakan tersebut mengakibatkan rusaknya beberapa rumah warga dan jatuhnya korban yakni Syaifuddin (tewas) dan Rizki (luka berat). Panser tersebut berhasil mengeluarkan anggota polisi yang terkurung dalam Pos Polmas. Penembakan pasukan Brimob juga terjadi di Kayamanya ketika warga memaksa ke luar menuju Tanah Runtuh. Akibatnya 2 orang mengalami luka tembak, yakni Aco (di bagian pantat) dan Bambang (di bagian betis dan dada).

Sementara versi polisi menyebutkan saat melaksanakan patroli dan razia di Jalan Pulau Irian ke PDAM dekat Tanah Runtuh, terjadi pengumpulan massa yang tidak jauh dari tempat razia dan menunjukkan gelagat antipati. Polisi melakukan razia ke wilayah Tanah Runtuh, karena daerah itu ditengarai sebagai wilayah tempat persembunyian sejumlah warga Poso yang diduga pelaku kekerasan Poso.

Kapolres Poso AKBP Rudi Suphariadi lalu mengerahkan satu regu anggota Brimob untuk membackup di sekitar lokasi razia, serta melaksanakan patroli yang tidak jauh dari lokasi tanah runtuh, Kapolres Poso juga menugaskan anggota Brimob untuk berpatroli di Jalan Pulau Irian dengan menggunakan kendaraan Barakuda dan truk sampai ke wilayah PDAM.

Versi Plisi menyebutkan dalam razia itu warga lalu mengetok tiang listrik sebagai tanda bahaya di sekitar Jalan Pulau Irian, Jalan Pulau Jawa dan PDAM sehingga warga berkumpul. Warga kata polisi melakukan penyerangan terhadap Pos Polmas Tanah Runtuh yang dijaga 16 personil Polres Poso. Pos tersebut dilempari batu, renteta tembakan senjata otomatis dan bom sebanyak satu kali sehingga anggota Polmas yang sudah terkepung massa. Merasa terkepung polisi lalu meminta bantuan ke Mapolres Poso. Kapolres Poso mengirim satu kompi pasukan Brimob untuk mengevakuasi anggota polisi dari Tanah Runtuh.

Proses evakuasi berhasil dilakukan, namun seorang anggota Brimob bernama Brigadir Edi Purwanto terkena lemparan batu dan mengenai dahi sehingga mengalami luka-luka. Sebuah mobil truk Brimob dan 3 unit sepeda motor dibakar massa. Selain itu pos Polmas dirusak penyerang serta ban kendaraan barakuda kempes terkena tembakan penyerang.

Tercatat dari massa penyerang tertembak tiga orang, Jumaris, Kiki dan Syaifuddin alias Udin yang kemudian meninggal dunia. Dari massa penyerang diamakan, Rusli, Nasrul Yuda, Ramli Hi. Lami, Sunardi, Dirjan Galendo dan Anis Lahabu.

Terlepas versi warga atau polisi yang benar dalam insiden itu, yang jelas opini yang terbentuk di masyarakat menyudutkan institusi Polri karena pilihan waktunya yang kurang tepat, sehari menjelang perayaan idul fitri. Polisi pun dituding menodai kesucian hari Idul Fitri .

Ketua Forum Solidaritas Perjuangan Ummat Islam (FSPUI) Poso, Ustad Adnan Abdul Rahman Saleh (Arsal), menyuarakan penarikan seluruh pasukan Brimob dari wilayah Poso dalam tempo satu kali 24 jam. Pimpinan Ponpes Amanah ini juga mendesak Presiden Republik Indonesia membentuk TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) atas kasus Tanah Runtuh.

Pembentukan TGPF juga disuarakan Poso Center, koalisi lebih 30 LSM yang getol mendesak pemerintah membentuk TGPF Poso guna mencari akar dan solusi permasalan di Poso secara mnyeluruh.

Polri tidak tinggal diam menghadapi opini publik yang semakin menyudutkan institusinya, Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam pun harus pindah kantor sementara di Mapolres Poso dan Mapolda Sulteng. Selasa malam, 31 Oktober 2006, Jenderal bintang satu ini mengumpulkan wartawan di Mapolres Poso. Ia mengumumkan 34 orang tersangka serangkaian kasus terror yang terjadi di Kabupaten Poso dan Kota Palu, sejak tahun 2001 hingga 2006.

Sebanyak 15 orang telah ditangkap dan saat ini ditahan di Mabes Polri, sementara 29 orang lainnya masih masuk dalam DPO. Para tersangka itu terlibat sedikitnya 13 kasus teror, di antaranya pembunuhan I Wayan Sumaryasa, wartawan Poso Post (tahun 2001), pembunuhan Pendeta Orange Tadjoja bendahara GKST (2001), kasus mutilasi Kades Pinedapa (2003), peledakan bom di depan Pasar Sentral Poso yang menewaskan enam orang (2004).

Lainnya, kasus penembakan Jaksa Ferry Silalahi dan Pendeta Susianti Tinulele di Palu (2004), perampokan uang milik Pemda Poso sebesar Rp 489 juta (2004), peledakan bom di Pasar Tentena yang menewaskan 22 orang (2005), kasus mutilasi tiga siswa SMU Kristen Poso (2005), serta sejumlah peledakan bom gereja di Palu dan Poso.

Tujuh dari 15 tersangka yang ditahan disebutkan masuk dalam kelompok Tanah Runtuh, mereka adalah Hasanuddin, Poniren alias Ipong, Yusuf Asap, Haris, Irwanto Irano, Rahmat dan Sudirman.

Sementara delapan tersangka lainnya merupakan anggota kelompok Kompak Kayamanya yakni, Fadly Barsalin, Yusman Saidi, Syakur, Farid, Yusman Sahed, Iswandi Ma`ruf, Rusli Tawil dan Ifek.

Sebanyak 29 tersangka DPO diberi waktu 1×24 jam untuk menyerahkan diri, tokoh masyarakat dan keluarga DPO juga diminta membantu membujuk para DPO agar mau menyerahkan diri.

Sejak itu masyarakat disuguhi istilah baru dari konflik Poso. Yaitu adanya 39 orang yang diduga sebagai biang kekerasan Poso. Polisi sendiri dengan percaya diri menyakini 29 warga Poso yang masuk dalam daftar pencarian orang sebagai pelaku sejumlah kekerasan di Poso dan Sulawesi tengah umumnya.

Sebuah sumber dari kalangan DPO menyebutkan tersangka Hasanuddin yang lebih dulu ditangkap polisi di Tolitoli akhir 2005 lalu “bernyanyi” kepada polisi tentang adanya sekolompok warga yang berdiam di wilayah Gebangrejo sebagai pelaku kekerasan di Poso, Palu dan Donggala. Hasanuddin kata sumber itu dikurung selama tiga hari disebuah hotel di Balikpapan, Kalimantan Timur sebelum diterbangkan ke Jakarta.

“Dia diintrogasi selama tiga hari di Balikpapan, dan menyebutkan orang-orang yang terlibat kekerasan di Poso” Kata sumber tersebut.

Tajwin Ibrahim salah seorang anggota TPM Poso berpendapat, bahwa pengumuman polisi terhadap warga Poso yang masuk dalam daftar DPO hanyalah sebagai alasan polisi untuk menghindari dosa-dosa polisi terhadap perisitiwa penodaan malam takbiran tersebut. Polisi kata dia sudah kasat mata melakukan pelanggaran HAM, karena polisi lalu mencari alasan yang tepat untuk melanjutkan operasi dia di Poso. “Pengumunan anggata DPO bagi kami sangat mengejutkan karena tak pernah ada sejak konflik adanya konflik Poso” ujar Tajwin.

Pada saat itu juga penyebutan kelompok “Tanah Runtuh“ secara terbuka dilansir media massa. Sebelumnya pihak kepolisian Polri hanya menggunakan idiom “kelompok Hasanuddin”. Pesan dibalik penyebutan Tanah Runtuh yang hendak disampaikan Bacrul Alam, bahwa operasi bersenjata yang dilakukan Polisi pada 22Oktober lalu sudah tepat sebab ditengarai masih ada orang-orang yang dicari bersembunyi di kawasan Tanah Runtuh.

Pengumuman Polri yang di sampaikan Anton Bachrul Alam tersebut juga hanya berselang dua hari setelah aksi unjuk rasa 1000 ummat muslim kota Poso yang menuntut penarikan pasukan Brimob dan pembentukan TGPF. Dan sehari setelah Wapres Jusuf Kalla berkunjung ke Palu guna bertemu tokoh masyarakat dan pemuka agama asal Poso. Kunjungan Wapres itu sendiri terkait dengan peristiwa 22 Oktober.

Di Jakarta, pada 1 Nopember 2006, Menko Polhukam Widodo AS, mengeluarkan keputusan pembentukan TPF (Tim Pencari Fakta) untuk kasus Tanah Runtuh dengan anggota 11 (sebelas) orang yang terdiri dari unsur Pemerintah, Polri, TNI, MUI Pusat, PP Muhammadiyah dan MUI Poso. Sebagai Ketua TPF adalah Drs Budi Utomo (Deputi Menko Polhukam) dan anggota dari MUI Poso adalah Yahya Mangun.

Celakanya hasil TPF Tanah Runtuh tidak membeberkan adanya pelanggaran prosedural dalam operasi bersenjata 22 Oktober. TPF hanya menelorkan serangkaian rekomendasi yang di antara meminta penyelesaian kasus Poso sebaiknya mengendepankan persuasif.

Budi Utomo (Ketua TPF) dalam paparannya di hadapan anggota Muspida Sulteng dan Poso, serta tokoh masyarakat Poso, 13 Desember, menyebutkan rekomendasi TPF bahwa perlunya aparat keamanan dalam hal ini Polri kepada para tokoh masyarakat; penugasan aparat BKO difokuskan pada upaya cegah dini dan pengamanan terhadap kemungkinan terulangnya konflik horisontal serta membangun kepercayaan kepada semua pihak; melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut terhadap masyarakat yang terlibat maupun kepada aparat terkait. Sebiuha rekomendasi yang agak aneh karena dua tahun belakangan ini konflik Poso tidak lagi bermelibatkan dua komunitas muslim –kristen, tapi hanya sekolompok kecil warga yang melakukan kekerasan.

Rekomendasi lainnya, BKO Poso masih diperlukan namun dipertimbangkan untuk menggunakan satuan organik Polda Sulteng dengan cara memperbesar kemampuannya; penanganan DPO dilaksananakan di Palu dengan disertai pendamping dari pengacara serta hindari pemeriksaan dengan kekerasan.

Materi paparan hanya disampaikan secara garis besar sehingga para tokoh yang hadir tidak bisa mengetahui secara utuh hasil temuan TPF.

Kembali ke DPO. Sepekan setelah Polri mengumumkan ke 29 DPO, tak seorang DPO pun yang menyerahkan diri, operasi penangkapan dipersiapkan. Kapolda Sulteng Brigjen Pol Badrodin Haiti memimpin langsung rapat pemantapan penangkapan para tersangka DPO tersebut di Mapolda Sulteng.

Namun, operasi penangkapan urung dilakukan setelah ada permintaan dari tokoh muslim Poso kepada Kapolri agar batas waktu penyerahan diri DPO diperpanjang hingga 24 Nopember. “Sebenarnya batas waktu dari Polda sudah habis. Begitu mau menangkap, mereka (tokoh masyarakat) meminta perpanjangan ke Mabes, di Mabes dikasih lagi,
bukan seminggu, tapi sampai Jumat 24 November,” ujar Anton Bachrul Alam.

Upaya persuasif mulai membuahkan hasil. Andi Ilalu alias Andi Bocor, satu dari 29 warga Kabupaten Poso yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Polda Sulteng menyerahkan diri, Selasa (14/11). Andi Lalu yang terlibat dalam kasus penembakan di Desa Landangan, Kecamatan Poso Pesisir. Namun, empat hari kemudian, polisi melepas Andi Bocor, walaupun polisi berhak menahan selama tujuh hari. Ia tetap berstatus tersangka dan dikenai wajib lapor.

Setelah Andi Bocor dilepas, dua DPO yang diduga terkait dalam kasus perampokan uang Pemda Poso pada tahun 2005, yaitu Iswanto alias Ateng Marjo (30) dan Abdul Nasir (23) menyerahkan diri pada 28 November atau sepuluh hari setelah Andi Bocor dilepas.

Selama sepekan, Ateng dan Nasir menjalani pemeriksaan di Mapolda Sulteng. Lalu diizinkan pulang karena keduanya dinilai kooperatif dan adanya jaminan dari pihak keluraga.

Syahril Lakita alias Ayi dan Taufik alias Upik Kokom mengikuti langkah ketiga rekannya mereka untuk menyerahkan diri. Ayi yang juga tersangka kasus perampokan uang Pemda Poso diserahkan ke polisi oleh kelurganya di Hotel Wisata Poso pada 6 Desember. Sementara Upik Kokom yang menjadi tersangka peledakan bom GOR Poso tahun 2004 menyerah diri ke Mapolda Sulteng pada 7 Desember. Dengan alasan yang sama, Ayi dan Upik juga diizinkan pulang.

Setelah penyerahan diri Ayi dan Upik, tak ada tanda-tanda 24 DPO lainnya akan menyerahkan diri, sekalipun upaya persuasif masih terus dilakukan dengan dimediasi Adnan Arzal dan anggota TPM Sulteng. Dalam rentang waktu November hingga Desember 2006 terjadi serangakaian aksi kekerasan berupa peledakan bom dan
rentetan tembakan. Polisi menuding para DPO berada dibalik aksi teror tersebut.

Hingga 9 Januari 2007, DPO sejumlah DPO yang rencananya menyerahkan diri batal terlaksana. Operasi penangkapa/upaya paksa akhirnya dilancarkan pada 11 Januari di rumah milik Sukardi alias Gawo di Jalan Pulau Jawa II Kelurahan Gebang Rejo. Operasi itu melibatkan pasukan brimob dan Densus 88 (Antiteror).

Operasi yang berlangsung pagi hari iru menewaskan Ustadz Rian dan Dedy Parsan, 28, salah seorang dari 24 DPO. Sementara yang terluka adalah Anang Muhtadin alias Papa Enal, Upik Pagar, Abdul Muis, Ustadz Ibnu dan Paiman alias Sarjono.

Dalam Insiden itu, polisi berhasil menyita tiga bom rakitan, lima pucuk senjata organik terdiri dari empat jenis revolver dan satu pucuk SS1, 13 senjata rakitan serta 380 butir amunisi di rumah kosong di samping rumah Basri.

Pasca penggrebekan itu situasi di kota Poso, khususnya di Tanah Runtuh semakin mencekam. Sepanjang malam nyaris tak pernah sepi dari suara tembakan. Puncaknya operasi bersenjata 22 Januari yang dilakukan polisi mendapat perlawanan sengit dari kelompok DPO bersenjata. Sebanyk 14 orang (termasuk seorang polisi) tewas, dan puluhan lainya luka-luka dalam baku tembak itu.

3 Komentar

  1. maaf om.. promosi dikit.. Cyber Palu Blogging Competition.. telah di buka.. 🙂

  2. NUMPANG IKLAN Ya mas…!!

    Kami menyediakan alat pencegah kebocoran LPG, sebuah alat yang simple dan murah tentunya..kalo udah gak bocor, bisa lebih hemat tentunya Alat pengaman dan penghemat tabung gas LPG tersedia untuk ukuran 3 KG, 12 KG, 14 KG (semua Ukuran).
    Harga, Mulai Rp.29.000, Rp.35.000 – sampai – Rp.40.000 ( belum termasuk ongkos kirim )
    Jenis Produk terbuat dari Besi.
    CARA PEMBELIAN
    Konfirmasi dulu ketersediaan Stok Barang Ke :

    email : sunnysby@gmail.com
    atau klik website kami, di atas….

    kalau stok siap pasti saya konfirmasi

    Nb. :
    Harga belum termasuk Ongkos Kirim
    Melayani seluruh wilayah Indonesia
    ( Kesempatan untuk menjadi Agen )

  3. My name is Dinesh Menon,I’m from Kerala, India. I am very passionate about movies and try to watch all International movies from all countries in all Click https://twitter.com/moooker1


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar

  • AJI Palu

    Blog ini adalah blog resmi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu. Blog ini diniati sebagai kanal informasi alternatif tentang konflik di Poso, Sulawesi Tengah. AJI mencoba melihat konflik itu dengan pendekatan jurnalisme humanisme dengan mengutamakan mendengar suara-suara korban konflik secara keseluruhan yang kadang tidak mendapat tempat dalam peliputan media, tanpa menyampingkan data, fakta dan peliputan menyeluruh pada semua pihak. Untuk pertanyaan, saran maupun pengaduan tentang pelecehan profesi maupun tindakan anggota AJI yang dinilai melanggar Kode Etik, Anda dapat menghubungi Amran Nawir Amier (Ketua AJI Palu) dan Iwan Lapasere (Sekretaris AJI Palu) di alamat: Jalan Rajawali Nomor 28 Palu, Sulawesi Tengah. Telepon: +62-451-456050. fax: +62-451-424828. Email: aji_kotapalu@yahoo.co.id
    Admin: jgbua@yahoo.com